Salah satu dari banyak bahaya COVID-19 adalah kemampuannya yang mungkin dapat menyebabkan pembekuan darah (hiperkoagulopati). Virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 ini memang tak henti membuat kejutan dan menyimpan banyak banyak misteri. Pembekuan darah yang diakibatkan oleh virus ini kemudian dapat menyebabkan masalah serius seperti serangan jantung dan stroke.
Kondisi adanya pembekuan darah pertama kali dilaporkan oleh Jeffrey Laurence dan rekan-rekan ahli hematologi lainnya di Weill Cornell Medicine, New York, Amerika Serikat. “Sejumlah masalah pembekuan yang kami lihat di ICU pada pasien COVID-19 ini belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Laurence.
Banyak pasien COVID-19 yang dirawat di ICU (unit perawatan intensif) mengalami pembekuan darah, termasuk pembekuan di pembuluh darah kecil, pembekuan darah di pembuluh darah vena di kaki, dan pembekuan yang menyebabkan stroke di pembuluh arteri serebral.
Ada juga yang melaporkan adanya pasien berusia 30-an dan 40-an yang mengalami stroke setelah terinfeksi COVID-19. Setelah diperiksa stroke ini disebabkan gumpalan darah beku yang terlepas dan menyebar ke pembuluh darah di otak.
Pembekuan darah yang diakibatkan COVID-19 ini tidak merespons dengan baik metode pencegahan standar. Dalam beberapa kasus, bukan hanya tak mempan dengan pengobatan standar, bahkan dengan pengencer darah dosis standar pun tak memberi pengaruh apapun.
Sebuah penelitian terbaru dari Belanda, yang diterbitkan dalam jurnal Thrombosis Research, menemukan bahwa lebih dari 30% dari 184 pasien COVID-19 di ICU mengalami beberapa jenis masalah pembekuan darah.
Semula, COVID-19 hanya dikaitkan dengan penyakit pernapasan sehingga para dokter memprediksi bahwa efek paling serius terjadi di paru-paru, bukan pada darah. Tapi temuan-temuan terbaru ini membuat para ahli mencari tahu penyebab keterkaitan COVID-19 dengan pembekuan darah yang terbilang misterius ini.
Pompini Agustina Sitompul, Ketua Pokja Pinere Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso, mengungkapkan sejumlah pasien COVID-19 varian Omicron yang memiliki komorbid juga mengalami hiperkoagulopati.
Dalam acara Kesiapsiagaan Menghadapi Omicron yang dipantau dari YouTube RSPI (30/120), Pompini menyebutkan pasien dengan kondisi tersebut ada yang tidak mengalami gejala sehingga hal ini perlu menjadi perhatian.
Sebuah studi baru menjelaskan bahwa COVID-19 tampaknya mendorong produksi antibodi khusus yang dapat menyerang jaringan tubuh dan memicu terjadinya pembekuan darah.
Antibodi seperti ini disebut antibodi autoimun atau autoantibodi. Salah satu jenisnya yang disebut antiphospholipid autoantibodies mampu menyerang sel sedemikian rupa untuk meningkatkan pembekuan darah.
Sebelum pandemi COVID-19, autoantibodi seperti ini terlihat pada pasien yang memiliki kelainan autoimun dikenal sebagai sindrom anti-fosfolipid atau anti-phospholipid syndrome (APS). Penyakit ini merupakan gangguan autoimun yang membuat darah mudah membeku dan menggumpal.
“Sekarang kami mengetahui bahwa autoantibodi adalah penyebab komplikasi pada COVID-19,” kata rekan penulis studi Yogendra Kanthi, asisten profesor di Michigan Medicine Frankel Cardiovascular Center.
Autoantibodi ini kemungkinan memainkan peran dalam lingkaran setan pembekuan darah dan pembengkakan yang membuat gejala COVID-19 menjadi lebih buruk.
Jeffrey Laurence menyebut paru-paru pasien COVID-19 yang meninggal karena gagal napas, terutama yang belum sempat dibantu ventilator, seringkali tidak menunjukkan kerusakan. Kondisi ini umumnya muncul pada orang yang meninggal akibat gangguan pernapasan akut lainnya.
Jaringan paru pasien tersebut mengalami penggumpalan darah di pembuluh kecil. Menurutnya, fakta ini mengisyaratkan bahwa pembekuan setidaknya berkontribusi pada kegagalan pernapasan.
Dalam studi yang diterbitkan jurnal Science Translational Medicine, peneliti mendeteksi autoantibodi ini terjadi pada setengah dari pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit.
Peneliti melakukan analisis pada sampel darah 172 pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit. Secara keseluruhan, 52% dari pasien ini memiliki autoantibodi anti-phospholipid dalam darah mereka.
Ketika peneliti menyuntikkan autoantibodi ini ke tikus uji coba, peneliti mengatakan jumlah pembekuan darah yang terjadi sangat mencolok. “Salah satu pembekuan darah terburuk yang pernah kami lihat,” ucap Yogendra Kanthi.
Baik pada pasien COVID-19 maupun pada pasien APS, belum jelas mengapa tubuh memproduksi antibodi penyebab penggumpalan darah ini. Menurut National Institutes of Health, pada APS, ilmuwan berpikir penyakit ini disebabkan oleh kombinasi genetika seseorang dan paparan lingkungan termasuk virus tertentu.
Para peneliti mengatakan perlu lebih banyak penelitian untuk lebih memahami peran autoantibodi ini dalam COVID-19 dan apa yang memicu produksinya. Peneliti menyarankan untuk memberikan obat anti pembekuan darah pada pasien COVID-19 parah untuk mengurangi risiko pembekuan darah yang mengancam jiwa.
Dari fakta ini juga para peneliti kembali bertanya-tanya tentang kemungkinan bahaya yang ditimbulkan dari penggunaan plasma darah pasien sembuh. Plasma darah pasien sembuh kemungkinan mengandung autoantibodi yang berbahaya, selain antibodi yang dapat membantu melawan COVID-19. Sehingga orang yang mendapatkan transfusi bisa mendapatkan bahayanya.
Penelitian ini masih berlanjut untuk melihat berapa lama autoantibodi bertahan setelah orang pulih dari COVID-19.