Dalam upaya menekan kasus COVID-19, para ahli tidak berhenti berinovasi untuk menciptakan obat yang ampuh memberantas penyakit ini. Selain perusahaan Merck dengan obat terbarunya, Molnupiravir, baru-baru ini Pfizer merilis hasil uji klinis obat COVID-19 yang dikembangkannya, yaitu Paxlovid. Bagaimana cara kerja dan efektivitasnya?
Paxlovid tergolong dalam kelas antivirus yang disebut dengan protease inhibitor. Obat ini tersedia dalam bentuk pil yang harus dikonsumsi secara oral atau diminum.
Obat yang dikembangkan oleh merek dagang Pfizer ini ditujukan secara khusus untuk memblokir enzim yang dibutuhkan virus SARS-CoV-2 untuk berkembang biak.
Awal mula perkembangan obat ini dimulai dari kilas balik Pfizer dalam menciptakan obat untuk melawan infeksi SARS pada tahun 2003. Dari situ, peneliti menemukan bahwa salah satu obatnya bekerja efektif melawan virus COVID-19.
Pfizer kemudian mengembangkan kandidat obat oral baru yang bekerja secara spesifik melawan virus COVID-19 yang dinamai PF-07321332.
Obat protease inhibitor seperti Paxlovid bekerja dengan cara mencegah replikasi atau pembentukan virus dalam jumlah banyak.
Caranya adalah dengan menghentikan kemampuan enzim dalam virus untuk memecah protein. Proses pemecahan protein inilah yang membuat virus bereplikasi dan bertambah banyak.
Menghambat replikasi virus diharapkan dapat memperlambat atau bahkan mencegah infeksi terjadi karena jumlah virus dalam tubuh tetap rendah. Dengan demikian, sistem imun dapat mencegah tubuh mengalami gejala berat akibat infeksi COVID-19.
Berdasarkan hasil uji klinis yang dirilis Pfizer, obat oral Paxlovid dinyatakan efektif mengurangi keparahan gejala COVID-19, risiko rawat inap di rumah sakit, serta mencegah kematian.
Hasil dari uji klinis fase 2 dan 3 yang dilakukan oleh Pfizer menunjukkan bahwa obat ini memiliki efektivitas mendekati 90% dalam mencegah keparahan penyakit.
Uji klinis tersebut melibatkan 1.200 partisipan dengan infeksi COVID-19 yang berisiko mengalami gejala berat, seperti memiliki faktor risiko berupa obesitas dan lansia. Dalam penelitian tersebut, partisipan diberi obat Paxlovid dan plasebo.
Hasilnya, partisipan yang minum obat Paxlovid mengalami penurunan risiko rawat inap dan kematian jika dibandingkan dengan partisipan yang minum obat plasebo. Plasebo adalah obat kosong yang digunakan sebagai pembanding atau penguji efektivitas obat yang sebenarnya.
Dilaporkan tidak ada partisipan yang meninggal selama 28 hari setelah pengobatan dengan Paxlovid. Namun, sebanyak 10 partisipan yang menerima obat plasebo dinyatakan meninggal.
Efektivitas obat akan meningkat jika diberikan sedini mungkin. Hasil uji klinis menunjukkan bahwa pemberian obat dalam waktu 5 hari sejak gejala pertama muncul akan mengurangi risiko rawat inap sebanyak 50%.
Kabar baik lainnya, uji klinis oleh Pfizer juga menunjukkan bahwa obat Paxlovid efektif melawan berbagai varian COVID-19, terutama jenis variant of concern (VOC).
Sejauh ini, belum ada efek samping parah yang dilaporkan dari penggunaan obat Paxlovid. Partisipan yang menerima obat ini umumnya mengalami efek samping ringan, seperti mual, muntah, dan diare. Selain itu, keamanan obat ini untuk ibu hamil dan menyusui juga belum diketahui.
Meski demikian, para ahli menekankan bahwa kehadiran obat seperti Paxlovid tidak akan mengakhiri pandemi COVID-19. Salah satu kunci utama untuk menyelesaikan pandemi adalah dengan pemberian vaksinasi guna mencapai herd immunity dalam suatu kelompok.
Untuk saat ini, Pfizer tengah mengajukan perizinan dari Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat. Tujuannya adalah supaya obat ini dapat didistribusikan untuk penggunaan darurat.
Rencananya, Pfizer akan mengizinkan produsen obat untuk membuat dan memasok versi generik pil antivirus eksperimental COVID-19 ini ke 95 negara berpenghasilan rendah dan menengah. Hal ini tertuang dalam perjanjian lisensi dengan kelompok kesehatan masyarakat internasional, Medicines Patens Pool atau MPP.
Pfizer juga siap menggelontorkan dana sekitar 1 juta dollar AS untuk mendukung proses pembuatan dan distribusi obat COVID-19 ini. Dana tersebut mencakup pencarian pilihan manufaktur obat di negara berpendapatan menengah dan rendah. Dengan begitu, obat ini diharapkan dapat diakses dengan mudah di negara-negara tersebut.
Hingga saat ini, belum diketahui apakah pemerintah Indonesia akan memasok obat Paxlovid untuk pengobatan COVID-19. Pasalnya, belum ada informasi lebih lanjut terkait masalah perizinan serta kisaran harga obat.