COVID-19 varian Delta menyebabkan terjadinya lonjakan kasus yang signifikan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Varian yang satu ini memang terbukti lebih mudah menular dan menimbulkan gejala lebih parah dibanding jenis aslinya. Tak berhenti sampai di situ, kini ditemukan COVID-19 varian Delta Plus, yaitu varian Delta yang telah bermutasi lagi. Seperti apa risiko varian virus ini?
Seperti yang mungkin sudah Anda ketahui, virus penyebab COVID-19 telah bermutasi dan terbagi menjadi beberapa varian. Salah satunya adalah varian Delta.
Varian Delta atau B.1.617.2 pertama kali ditemukan di India pada awal tahun 2021. Berbeda dengan jenis virus aslinya, varian Delta jauh lebih menular dan mematikan.
Dalam waktu singkat, varian tersebut telah mendominasi jumlah kasus di India dan Inggris. Menurut CDC, pada akhir Juli 2021, sebanyak 80% kasus COVID-19 baru di seluruh dunia disebabkan oleh varian Delta.
Dr. F. Perry Wilson, ahli epidemiologi dari Yale Medicine, menyatakan bahwa varian Delta 50% lebih menular dibanding dengan varian asli COVID-19.
Hasil mutasi virus SARS-Cov-2 ini tidak berhenti sampai di situ saja. Pasalnya, penyebab COVID-19 varian Delta kini telah bermutasi dan membentuk sebuah varian baru, yaitu varian Delta Plus.
Varian Delta Plus, yang disebut juga dengan B.1.617.2.1 atau AY.1, pertama kali ditemukan di India pada bulan April 2021.
Gejala yang ditimbulkan oleh varian baru ini tidak berbeda jauh dengan gejala COVID-19 varian sebelumnya.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) telah menggolongkan varian Delta Plus sebagai varian yang perlu mendapat perhatian lebih (variants of concern atau VOC).
Varian ini memiliki 3 karakteristik yang perlu dikhawatirkan, yaitu:
Meski demikian, masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai apakah benar varian Delta Plus bisa menambah keparahan penyakit COVID-19.
Sejauh ini, kasus penyakit akibat infeksi varian Delta Plus tergolong masih cukup rendah. Per tanggal 16 Juni 2021, varian Delta Plus telah dilaporkan berada di 11 negara, yaitu:
Menurut Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Prof. Amin Subandrio, varian Delta Plus kini sudah mulai memasuki Indonesia. Telah ditemukan 3 kasus varian Delta Plus di 2 wilayah di Indonesia, yaitu Mamuju (Sulawesi Barat) dan Jambi.
Lalu, apakah varian Delta Plus dapat memicu kembali terjadinya lonjakan kasus COVID-19 di Indonesia? Hal ini masih perlu dikaji lebih lanjut.
Varian Delta Plus diyakini menjadi pemicu timbulnya gelombang ketiga kasus COVID-19 di India. Pasalnya, tingkat keparahan virus ini diduga jauh lebih mematikan dibanding varian sebelumnya.
Namun, kemunculan varian baru virus belum tentu menjadi satu-satunya penyebab peningkatan kasus. Masih ada faktor-faktor lain yang perlu dipertimbangkan selain mutasi varian virus.
Ditambah lagi, pada negara-negara dengan kasus varian baru tersebut, belum ada laporan mengenai lonjakan kasus infeksi COVID-19 yang signifikan.
Meski demikian, penting bagi setiap negara dengan kasus varian Delta Plus untuk semakin meningkatkan jumlah tes COVID-19, pelacakan kasus, serta pemberian vaksinasi.
Pada dasarnya, varian Delta Plus merupakan subvarian dari Delta yang biasa. Namun, yang membedakan Delta biasa dan Delta Plus adalah mutasi tambahan di dalamnya.
Varian Delta Plus mengandung mutasi tambahan yang disebut dengan K417N. Mutasi ini memengaruhi bagian protein pada permukaan virus. Protein ini dibutuhkan oleh virus untuk dapat masuk dan menginfeksi sel-sel.
Mutasi K471N pada SARS-CoV-2 memudahkan virus untuk terikat dengan reseptor ACE2, yaitu enzim yang terdapat di permukaan sel-sel tubuh manusia. Karena adanya mutasi pada protein virus, dikhawatirkan varian Delta Plus lebih cepat menyebar dibanding dengan varian Delta sebelumnya.
“Mutasi K417N menjadi hal penting yang perlu diperhatikan. Mutasi ini ada dalam varian Beta (B.1.351) yang dilaporkan memiliki sifat mampu menghindari antibodi atau sistem kekebalan tubuh,” tulis Kementerian Kesehatan India dalam rilisnya seperti dikutip oleh Reuters.
Mutasi protein virus ini ditemukan pada varian Beta yang keberadaannya pertama kali dilaporkan ditemukan di Afrika Selatan.
Sejauh ini, jenis vaksinasi COVID-19 yang telah tersedia di berbagai negara terbukti efektif melawan virus varian Delta biasa.
Meski seseorang yang sudah divaksin masih bisa tertular virus, vaksinasi teruji efektif mengurangi keparahan gejala serta kemungkinan dirawat inap di rumah sakit.
Vaksin seperti Pfizer dan AstraZeneca telah teruji efektif, dengan angka efikasi 96% dan 92%. Namun, belum ada studi atau penelitian bisa membuktikan efikasi vaksinasi terhadap varian Delta Plus COVID-19.
Belum diketahui secara jelas apakah mutasi virus dapat berpengaruh pada tingkat efektivitas vaksinasi yang saat ini tersedia.
Namun,, Prof. Julian Tang dari University of Leicester memperingatkan bahwa bisa saja varian Delta Plus lebih kebal terhadap vaksinasi.
Menurut Prof. Tang, ada kemungkinan seseorang yang sudah divaksin dengan dosis lengkap bisa tertular varian ini dengan kemungkinan 10% lebih tinggi untuk dirawat di rumah sakit. Walaupun begitu, hal ini masih menjadi dugaan dan belum ada hasil penelitian yang dapat mengonfirmasi kemungkinan tersebut.
Oleh karena itu, cara terbaik untuk mencegahnya adalah dengan tetap mematuhi protokol kesehatan. Selain kewajiban pemerintah untuk test, tracing, dan treatment (3T), kita sebagai masyarakat harus melakukan 5 M yakni memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, mengurangi mobilitas, dan menghindari kerumunan.