Berita Kesehatan
COVID-19 Picu Kerusakan Saraf dan Otak Jangka Panjang
Jumat, 21 Ags 2020 09:53:31

Para ilmuwan memperingatkan bahwa pasien COVID-19 dengan gejala ringan dapat mengalami kerusakan otak serius yang mungkin berdampak jangka panjang. Peringatan ini dinyatakan setelah  studi terbaru menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 dapat menyebabkan komplikasi neurologis yang parah, termasuk peradangan otak, psikosis, dan delirium.

COVID-19 bisa menyebabkan kerusakan otak

Gejala dan dampak yang ditimbulkan infeksi virus corona penyebab COVID-19 masih terus diteliti. Selama enam bulan terakhir para ilmuwan menemukan serangkaian dampak sementara maupun jangka panjang yang berpotensi menyerang pasien COVID-19. 

Yang terbaru, peneliti dari University College London (UCL) menerbitkan hasil studi pada 43 pasien COVID-19 yang menunjukkan komplikasi kerusakan otak dan saraf serius. Dalam rincian laporan tersebut peneliti mengetahui setidaknya ada 4 efek virus pada saraf otak.

Pertama, beberapa pasien COVID-19 mengalami keadaan bingung yang dikenal sebagai delirium atau ensefalopati. Kondisi delirium biasanya dikaitkan dengan penurunan kognitif, gangguan memori, hingga merasa linglung dan mengalami disorientasi. 

Pada mayoritas kasus COVID-19, gangguan saraf otak ini terjadi hanya sementara. Meski begitu, para ahli saraf mempertanyakan mengapa kondisi ini terjadi pada pasien COVID-19. 

Dalam satu studi kasus, delirium terjadi pada seorang pasien COVID-19 berusia 55 tahun yang tidak memiliki riwayat kejiwaan sebelumnya. Pasien ini dikeluarkan dari rumah sakit setelah tiga hari menunjukkan gejala COVID-19 termasuk demam, batuk, dan nyeri otot. 

Setelah pulang ke rumah, pasien kebingungan dan mengalami disorientasi, halusinasi visual, dan pendengaran.

Kedua, salah satu temuan yang mengkhawatirkan adalah temuan beberapa kasus pasien dengan peradangan pada sistem saraf pusat dalam bentuk ADEM (acute disseminated encephalomyelitis). 

ADEM merupakan kondisi cukup langka. Namun sejak wabah COVID-19 meluas, semakin banyak kasus peradangan sistem saraf pusat yang bermunculan. Dalam studi ini saja sudah terdapat 9 kasus pasien yang mengalami ADEM.

Ketiga, kondisi stroke menjadi salah satu komplikasi yang terjadi pada pasien COVID-19 dalam penelitian ini. Separuh pasien dalam penelitian ini memiliki faktor risiko stroke, separuh lainnya tidak. Mereka hanya memiliki infeksi COVID-19 sebagai faktor risiko timbulnya komplikasi sistem saraf ini. Terakhir adalah potensi kerusakan otak lainnya. 

Apakah kerusakan otak ini berdampak jangka panjang?

Hingga saat ini setidaknya ada 300 penelitian di seluruh dunia yang menemukan kaitan COVID-19 dengan kelainan otak dan saraf. Termasuk gejala ringan seperti sakit kepala,kehilangan penciuman, dan kesemutan. 

Semua komplikasi dampak COVID-19 pada otak yang telah disebutkan di atas memiliki potensi kerusakan jangka panjang.

“Yang jelas, jika seorang pasien mengalami stroke, mereka mungkin memiliki sisa kelemahan dari stroke tersebut. Pasien dengan peradangan mungkin mengalami kekurangan residu,” kata Hadi Manji, salah satu penulis dalam studi tersebut.

Para peneliti mengatakan diperlukan penelitian lebih lanjut dengan skala yang lebih besar untuk mengetahui lebih jelas dan lebih akurat keterkaitan COVID-19 dan saraf otak.

Para peneliti mengatakan dampak jangka panjang dari infeksi virus pada otak manusia pernah terjadi setelah pandemi influenza 1918. 

“Kerusakan otak terkait dengan pandemi mungkin mirip dengan wabah ensefalitis lethargica ‘penyakit tidur’ pada 1920-an dan 1930-an setelah pandemi Flu Spanyol 1918,” Michael Zandi,  seperti dikutip Reuters, Rabu (8/7). Ensefalitis dan penyakit tidur telah lama dikaitkan dengan wabah influenza walaupun hingga kini hubungan langsung antara keduanya masih sulit dibuktikan.

Selain hubungannya dengan otak dan saraf, hingga saat ini para ilmuwan menemukan kaitan antara COVID-19 dengan penyakit lain seperti, ginjal, hati, jantung, dan hampir semua organ