Tuberkulosis atau TBC ternyata tidak hanya terjadi pada paru-paru, tetapi juga pada bagian tubuh lain, salah satunya adalah kelenjar getah bening. Agar terhindar dari TBC kelenjar getah bening, maka simak penjelasan berikut ini.
Sebagian besar kasus TB memang terjadi pada paru-paru. Tetapi infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (MTB) ini juga dapat menyerang bagian tubuh lain. Kondisi yang disebut TB extrapulmonary atau TB di luar paru ini dapat mengenai selaput otak, tulang, ginjal, rongga perut, kelenjar getah bening, saluran kencing, atau bagian tubuh lainnya termasuk kulit dan pleura.
Secara statistik, TB di luar paru dialami oleh sekitar 50 persen penderita HIV yang juga mengidap TB. Di antara berbagai jenis TB di luar paru ini, limfadenitis tuberkulosis atau TBC kelenjar memiliki persentase terbesar di antara berbagai jenis TB di luar paru lainnya. TBC kelenjar ini dapat terjadi di berbagai area tubuh, seperti kelenjar getah bening leher, ketiak, dan lipat paha.
Di antara semua kasus TBC kelenjar, kasus terbanyak terjadi pada leher yang disebut skrofula. Skrofula sendiri adalah infeksi TB pada kelenjar getah bening di leher yang umumnya ditularkan saat seseorang menghirup udara yang terkontaminasi MTB. Dari paru-paru, kuman TB dapat berpindah ke kelenjar getah bening terdekat, termasuk kelenjar getah bening di leher.
Secara epidemiologis, kasus TB kelenjar ini masih banyak ditemukan di negara berkembang dengan angka penderita TB yang masih tinggi. Kondisi ini dapat menyerang orang dewasa, lansia, maupun anak-anak, terlebih mereka yang mengalami kelemahan sistem kekebalan tubuh.
Salah satu tanda khas dari TB kelenjar ini adalah munculnya benjolan pada bagian leher atau kepala. Biasanya benjolan ini akan terus membesar seiring waktu dan tidak nyeri. Selain itu, skrofula biasanya disertai dengan gejala-gejala lain, seperti penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas, tubuh terasa tidak nyaman, demam, dan berkeringat di malam hari.
Diagnosis penyakit ini umumnya dilakukan melalui pemeriksaan fisik dan penelusuran riwayat penyakit oleh dokter. Setelah diduga menderita TBC kelenjar, dokter akan menyarankan pemeriksaan penunjang berupa biopsi (pengambilan sampel jaringan) terhadap benjolan. Salah satu prosedurnya adalah melalui biopsi aspirasi dengan jarum halus.
Untuk membantu diagnosis, dokter juga akan melakukan serangkaian pemeriksaan yang meliputi Rontgen dada, CT scan pada leher, tes darah, dan pemeriksaan biakan kuman TB. Pemeriksaan untuk mendeteksi HIV juga mungkin diperlukan.
Penanganan skrofula dapat dilakukan dengan pemberian antituberkulosis yang diberikan selama 6 bulan atau bahkan lebih. Obat antituberkulosis (OAT) yang diberikan biasanya merupakan kombinasi dari rifampicin, isoniazid, pirazinamid, dan ethambutol. Pada sebagian kasus, dokter dapat melakukan penambahan maupun pengurangan jenis obat, serta menambahkan lama terapi hingga beberapa bulan. Langkah pembedahan mungkin dilakukan jika obat antibiotik tidak dapat meredakan TBC kelenjar.
Dengan pengobatan yang tepat, penderita TBC kelenjar dapat pulih sepenuhnya. Akan tetapi ada kalanya terjadi komplikasi, seperti munculnya jaringan parut dan luka yang mengering pada leher. Komplikasi ini dapat disebabkan oleh terbentuknya fistula dan nanah. Untuk mengurangi risiko TBC kelenjar menjadi lebih parah, segera periksakan diri ke dokter, jika terdapat pembengkakan pada leher.