Fluoroskopi adalah tindakan pencitraan medis yang digunakan oleh dokter untuk mengambil gambar dari organ tubuh tertentu dan untuk melihat video pergerakan berbagai bagian tubuh di layar fluoresen secara langsung. Tindakan ini menggunakan teknologi sinar-X dan bahan pewarna pembanding, yang membuat bagian tubuh menjadi tidak tembus pandang dan terlihat dengan lebih jelas. Fluoroskopi umumnya digunakan untuk mendiagnosis penyakit dan juga sebagai tindakan intervensi dalam bidang ortopedi, gastroenterologi dan kardiovaskuler.
Fluoroskopi biasanya digunakan untuk mendiagnosis penyakit dalam bidang:
1. Gastroenterologi – Fluoroskopi yang dilakukan untuk memantau bagian perut dan usus biasanya menggunakan barium sebagai agen pembanding untuk menilai kondisi organ pencernaan dan melihat pergerakannya, yang mencakup kerongkongan, lambung, usus besar, dan usus kecil untuk menemukan penyebab gejala gangguan pencernaan, seperti muntah, kesulitan menelan, nyeri perut, atau gangguan pencernaan. Tindakan ini juga dapat digunakan untuk menemukan polip, tumor, atau untuk memastikan keberadaan sindrom kelainan penyerapan.
2. Ortopedi – Fluoroskopi paling umum digunakan dalam bidang ortopedi untuk melihat proses penyembuhan dari tulang yang rusak untuk memastikan bahwa tulang tersebut telah kembali ke posisi dan susunan yang benar selama penyembuhan. Fluoroskopi juga digunakan untuk membantu proses pemasangan implan.
3. Perawatan Kardiovaskuler – Fluoroskopi kardiovaskuler biasanya dilakukan ketika diduga ada penyumbatan pembuluh darah; tindakan ini dapat membantu proses masuknya kateter dan pergerakannya yang digunakan untuk mendiagnosis dan mengobati penyakit.
Fluoroskopi diharapkan dapat memberikan informasi yang tidak bisa didapatkan oleh dokter melalui tes lain. Informasi ini digunakan untuk menentukan tindakan yang tepat dalam pengobatan atau untuk menentukan apakah perlu dilakukan tindakan lebih lanjut dalam hal melakukan tindakan yang memakai monitor.
Fluorosokopi adalah uji pencitraan rutin yang biasanya membutuhkan waktu 45 menit – 1 jam, walaupun durasi setiap fluoroskopi dapat beragam, tergantung pada bagian tubuh yang diperiksa.
Proses fluoroskopi biasanya dimulai dengan pemberian zat warna pembanding. Apabila fluoroskopi digunakan untuk pencitraan saluran pencernaan, proses ini dapat menyebabkan sedikit ketidaknyamanan karena pasien harus menelan zat pewarna tersebut. Saat zat pewarna tersebut mengalir melalui saluran pencernaan, dokter akan mendapatkan gambar yang jelas dari kerongkongan, perut, usus kecil, dan usus besar. Zat warna pembanding juga dapat digunakan untuk pemeriksaan rektum, namun zat tersebut tidak ditelan oleh pasien, melainkan dimasukkan ke tubuh melalui tabung enema.
Fluoroskopi membutuhkan persiapan yang sederhana. Setelah pasien tiba di tempat pencitraan, ia akan diminta untuk menggunakan pakaian laboratorium. Kemudian, tindakan dilanjutkan dengan memberikan obat bius atau obat penenang. Ada beberapa aturan yang harus diikuti mengenai pemberian obat bius dan peraturan ini biasanya dikirim ke pasien beberapa hari sebelum fluoroskopi. Daftar peraturan ini harus terus ditinjau dan diikuti.
Setelah persiapan selesai dilakukan, pemindaian fluoroskopi akan dimulai. Ada dua jenis peralatan yang dapat digunakan dalam tindakan ini, yaitu sistem tetap dan alternatif berjalan. Sistem tetap digunakan dalam laboratorium pencitraan yang tetap, sedangkan unit fluoroskopi C-arm berjalan memberikan fleksibilitas dalam lokasi pelaksanaan fluoroskopi.
Tindakan fluoroskopi pada dasarnya menggunakan sinar-X, yang menghasilkan gambar dari lapisan tubuh saat melewati tubuh dengan kecepatan maksimum 25-30 frame setiap detiknya, sehingga video dari tubuh dapat dibuat. Hasil dari fluoroskopi akan diproses dengan peralatan khusus yang membantu memperjelas dan mencerahkan gambar sebelum gambar tersebut dipindahkan ke layar fluoresen. Model peralatan yang lebih baru dapat menghasilkan gambar digital.
Seperti sebagian besar tindakan medis, fluoroskopi memiliki risiko yang kebanyakan disebabkan oleh radiasi. Inilah alasan mengapa tindakan ini tidak disarankan bagi wanita hamil, karena fluoroskopi memiliki efek radiasi yang dapat membahayakan janin. Sebagai peraturan, tindakan pencitraan ini hanya boleh dilakukan apabila manfaat yang diharapkan melebihi kemungkinan risikonya.
Sebisa mungkin, ahli medis akan menggunakan radiasi dalam dosis rendah untuk mengurangi risiko. Namun, dosis radiasi akan bergantung pada kondisi pasien. Dalam kasus di mana fluoroskopi digunakan untuk membantu tindakan yang membutuhkan waktu yang lama (misalnya dalam tindakan intervensi yang membutuhkan pemasangan cincin), dosis radiasi akan disesuaikan, sehingga ada kemungkinan pasien akan mendapatkan radiasi dalam dosis yang tinggi.
Risiko fluoroskopi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu deterministic dan stochastic. Risiko ini meliputi:
1. Cedera pada kulit dan jaringan, seperti luka bakar
2. Katarak akibat radiasi
3. Kanker
Selain radiasi, ada juga elemen lain dari tindakan ini yang bisa menyebabkan efek yang tidak diinginkan, seperti komplikasi yang terjadi akibat obat bius atau obat penenang. Untuk mengurangi risiko dari fluoroskopi, ahli medis harus memeriksa:
1. Jumlah kumulatif dari radiasi yang mengenai pasien
2. Ukuran medan sinar-X, yang dapat dikurangi agar sinar-X hanya akan berada dalam area target gambar dan tidak mengenai bagian tubuh di sekitarnya
3. Posisi pasti dari sinar-X agar sinar-X tidak harus dipancarkan lagi
4. Filtrasi sinar-X, yang sangat penting terutama dalam tindakan yang lama
5. Fitur last-image hold khusus untuk melihat gambar berulang kali tanpa harus terus menerus memancarkan sinar-X pada pasien
Rujukan:
1. Rockville, MD. Food and Drug Administration. Public Health Advisory: Avoidance of Serious X-Ray-Induced Skin Injuries to Patients During Fluoroscopically-Guided Procedures. Center for Devices and Radiological Health, FDA. 1994.
2. Wagner LK, Eifel PJ, Geise RA. Potential biological effects following high X-ray dose interventional procedures. J Vasc Interv Radiol. 1994 Jan-Feb. 5(1):71-84.
3. Huda W, Peters KR. Radiation-induced temporary epilation after a neuroradiologically guided embolization procedure. Radiology. 1994 Dec. 193(3):642-4.